Widget Animasi

Sabtu, 08 April 2017



Sahabatan Lebih Asyik

“Farah” teriak ibuku tak ada hentinya. Aku hanya menggumamkan kata “Iya.” Ibuku terus memanggilku. Ia menyuruhku untuk sholat subuh. Hari ini hari Minggu. Hari yang aku tunggu-tunggu. Aku sudah melaksanakan sholat subuh.
“Farah, sekarang kamu menyapu halaman rumah ya. Ibu mau memasak.” Suruh ibu kepadaku.
“Iya bu.” Jawabku segera.
Namun aku malah kembali ke kamar. Seperti biasanya, aku selalu mengecek handphone apabila ada informasi penting dari teman. Namun kali ini berbeda.
“Wah, nggak seperti biasanya handphone aku rame gini.”
Ku buka whatsapp, aku terkejut tidak seperti biasanya Wildan nge whatsapp.
“Penting kali ya, sampai-sampai Wildan nge whatsapp aku.”
Aku langsung membalasnya. Tumben ia langsung merespon dengan cepat. Aku bingung.
“Ada apa dengan anak ini ya? Tidak seperti biasanya.”
Tak kusadari aku cengar cengir setiap membaca whatsapp darinya. Ia merangkai kata-katanya dengan sempurna. Bahkan sampai menyentuh hatiku. Aku sempat berpikir apakah anak ini akan mendekatiku? Ahh, itu tidak mungkin.
“Farah, kapan pekerjaan rumah akan selesai jika kamu main hp terus seperti itu?” tiba-tiba suara ibu membuatku gugup.
“Iya bu. Akan ku kerjakan sekarang.” Jawabku masih gugup.
Dengan segera aku mengambil sapu, dan mulai menyapu halaman rumah. Aku masih kepikiran dengan kata-kata Wildan tadi. Sesaat aku tersenyum. Namun aku kembali sadar.
“Nggak, Wildan kan temanku sejak kecil. Mana mungkin ia suka kepadaku? Mustahil.”
Aku cepat-cepat menyelesaikan pekerjaan rumah hari ini. Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul sembilan. Baru aku melangkah keluar kamar. Handphone ku berbunyi. One messege from Wildan. Aku membuka pesan tersebut, dan ternyata isinya Wildan hari ini mengajakku untuk ketemuan. Ia ingin bicara kepadaku. Memang aku sudah lama tidak bertemu dengan Wildan semenjak aku dan keluargaku pindah ke Pati. Saat itu kita baru kelas 1 Sd atau tepatnya usia 7 tahun. Dulu kita selalu bersama. Rumah kita pun berdekatan. Aku sudah menganggap Wildan sebagai saudaraku begitupun Wildan.
Selesai mandi, aku mempersiapkan segalanya untuk bertemu dengan Wildan sahabat kecilku. Aku ingin terlihat istimewa saat di depannya.
“Bu, hari ini aku diajak Wildan ketemuan di sebuah kafe.” pamitku dengan lembut
“Wildan? Siapa itu ra?” tanya ibu khawatir.
“Jangan khawatir bu. Wildan itu sahabat kecilku dulu yang ada di semarang. Sekarang ia dan keluarganya sudah pindah ke Pati karena ada beberapa urusan penting.” jelasku panjang lebar kepada ibu.
“O, nak Wildan. Ya sudah hati-hati di jalan ya.” Kata ibu sambil mengelus kepalaku
“Iya bu. Assalamualaikum” salamku. Lalu ibu membalas salamku dan tersenyum.
            Sesampai di kafe aku mencari sosok Wildan. Tiba-tiba dari belakang ada yang menpuk pundakku. Aku kaget. Aku seperti mengenal wajahnya. Aku berpikir. Ia adalah Wildan sahabat kecilku dulu.
“Wildan, Wildan kan?” tanyaku
“Menurut kamu?” ia malah balik bertanya.
“Ah udah lah jangan sok cakep gitu.” candaku sambil membalas menepuk pundaknya.
 “Eh, kita duduk yuk” sahutku mencoba mengalihkan pembicaraan.
Disaat kami asyik berbincang-bincang, tidak terasa sudah pukul 1 siang.
“Eh, Wildan udah jam satu nih. Aku mau pulang, nanti dicariin ibuku.” kataku gugup.
“Oh, ya udah bareng aku aja,  kan searah.”
 “Iya deh. Nggak ngerepotin nih?” tanyaku.
“Enggak kok, lagian aku juga udah bilang ke mama aku, kalau aku mau ketemu kamu.” kata Wildan sambil tersenyum.
Seketika aku ditatap oleh Wildan. Aku menjadi salah tingkah. Memang kebiasaanku jika dilihat orang apalagi itu cowok. Tapi, aku tetap melangkah untuk pulang. Sedangkan Wildan masih membuntutiku.
            Sesampai dirumah aku mengetuk pintu dan salam.
“Tok..tok..tok..tok, assalamualaikum.”
“Wa’alaikumsalam.” jawab salam dari ibuku.
Ibu kaget aku pulang dengan seorang teman cowokku. Tidak kebiasaanku untuk membawa teman cowok ke rumah. Ibuku berpikir. Lama rasanya.
 “Farah, ini siapa? Kayak pernah ketemu deh.” tanya ibuku penasaran.
“Ini sahabatku waktu kecil bu. Yang aku ceritakan tadi pagi.” jawabku.
“Bu, saya Wildan yang dulu sering main ke rumah Farah.” jelas Wildan.
“Ee, nak Wildan. Silahkan masuk nak, mari” ajak ibuku
            Lalu kami mengobrol tentang masa kecil kami yang dulu suka membuat orang tua kami cemas. Tak terasa sekarang Wildan pamit pulang. Aku masuk kamar dan memori kepalaku seakan berputar mengingat kejadian tadi. Aku senyum senyum sendiri layaknya orang gila. Sesekali aku melihat handphone ku, apabila Wildan mengirimku pesan. Baru sebentar aku memejamkan mata, handphoneku bergetar. Dengan segera aku mengambilnya. One messegge from Stefanny.
“Wah, pasti dari Wildan nih. Buka ah.” kata ku sembari tersenyum bangga. Aku memang tidak melihat pesan itu dari siapa tetapi dengan semangat akau langsung membuka pesan itu.
“Lho kok dari Stefany sih. Nanya tugas lagi. Kan kemarin dia masuk sekolah kenapa masih tanya sih. Ah kecewa. Kenapa coba aku tidak membaca pesan ini dari siapa dulu. Pasti kan tidak kecewa seperti ini.” wajahku menekuk. Lalu kubalas pesan dari Stefanny itu.
Pagi harinya aku bangun kesiangan. Sarapan pagi pun tergesa-gesa.
 “Assalamualaikum bu, yah aku berangkat dulu.” lalu aku mencium tangan mereka.
“Ya, hati-hati Farah.” Sahut ibu dan ayahku bersamaan.
Untunglah aku hari ini tidak telat. Aku segera masuk kelas dan menaruh tas di bangkuku. Biasa, aku duduk bersebelahan dengan Stefanny. Dia adalah sahabatku yang paling rese, tapi kalau aku tidak bertemu satu menit pun aku merasa kangen. Bel istirahat pun berbunyi, Stefanny segera mengajakku ke taman sekolah.
“Eh eh eh, Stefanny kamu mau ngapain? Jangan pegang tanganku. Aku bisa jalan sendiri. Sakit tau.” jeritku kesakitan karena tangan Stefanny memegang erat tanganku.
“Udah, kamu ikut aja sama aku.” sahut Stefanny.
“Hei, Farah jawab jujur ya.”
“Emangnya mau ngapain sih? Mau tanya apa kamu? Kayaknya penting banget.”
“Apa bener kemarin kamu habis ketemuan sama si Wildan itu?” tanya Stefanny sadis.
“Iya, kenapa? Eh, kamu tau nggak sekarang dia nggak gendut lagi lho. Dia sekarang lebih keren.” jawabku gembira. Tak ku sadari ternyata aku ngelamun sambil cengar-cengir tak karuan.
“Woy, jangan ngelamun mulu. Sambil cengar-cengir lagi.” getak Stefanny sambil memutar bola matanya karena bosan.
            Memang aku tidak satu sekolah dengan Wildan. Tapi aku merasa dekat dengannya. Dekat sekali melebihi sahabat. Ia sudah seperti saudaraku sendiri.
“Tumben Stefanny tadi galak. Nggak biasanya dia seperti itu.” batinku. Aku memikirkan tingkah laku Stefanny tadi. Aku merasa bersalah. Apa dia menyukai Wildan? atau yang lain?  Entahlah, aku tak tahu. Saat jam pelajaran pun dia tak bicara denganku. Dia diam kadang malah melamun. Aku bingung. Kita tidak bicara satu kata pun.
Sepulang sekolah aku masih juga memikirkan kejadian tadi. Apa mungkin ia suka dengan Wildan. Kalu memang suka kenapa ia tidak mendekatinya saja. Mengapa malahan marah denganku? Mungkin ia menganggap aku dan Wildan telah jadian. Tapi semua itu salah. Aku suka dengan Wildan hanya sebatas sahabat. Nggak lebih. Batinku dalam hati.
One messege from Wildan
            “Selamat Sore Farah yang cantik”
“Hah, dia memanggilku cantik? Nggak biasanya dia seperti ini.” ucapku kebingungan. Aku bingung membalas pesan darinya. Aku sebenarnya ingin sekali membalas pesannya. Tapi, aku ingat dengan kata sahabatku Stefanny. Ia sempat bilang saat pulang sekolah tadi, bahwa aku tidak boleh membalas pesan dari Wildan satu katapun. Akhirnya, aku membiarkan.
            Keesokan harinya saat di sekolah, Stefanny bertanya padaku.
“Farah, kamu kemarin dapat pesan dari Wildan nggak?” tanya Setfanny penasaran.
“Iya.” Jawabku singkat.
“Terus kamu balas?”
“Enggak lah, aku kan udah janji sama kamu bakal nggak balas pesan dari Wildan.” Lalu, aku menundukkan kepala sebentar. Sedih rasanya sehari tidak membalas pesan dari Wildan.
“Baguslah. Eh, Farah kamu kan deket banget tuh sama Wildan. Kamu mau nggak bantuin aku agar deket sama dia” sahut Stefanny.
Deg, sakit rasanya mendengar perkataan itu. Tapi mengapa hati ku rasanya sakit. Bukankah aku selama ini hanya menganggap Wildan sebagai sahabatku? Atau.... ah, nggak mungkin.
“Hey Farah kenapa malah ngelamun sih?
“Eh, iya iya aku bakal bantuin kamu.” upss. Kenapa aku menjawabnya seperti ini? aku tak rela.
“Janji?”
“I.. i.. iya janji. Kamu kan sahabatku.” jawabku gugup.
            Kenapa tadi aku menjawab bakal ngebantuin Stefanny ya. Padahal hatiku terasa sakit. Satu jam kemudian setelah aku pulang sekolah, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu. Aku tak menggubrisnya. Aku berada di kamar sejak tadi pulang sekolah.

Dengan segera ibuku membukakan pintu itu.
 “Eh, nak Wildan. Mau ketemu Farah ya?” tanya ibuku.
“Iya bu, apakah Farahnya ada?” sambil mencium tangan ibu.
“Mari masuk dulu nak. Nanti ibu panggilkan Farah. Farah dari tadi belum keluar dari kamarnya. Kayaknya ia lagi badmood.” kata ibuku panjang lebar kepada Wildan.
“Oh iya bu. Bisakah Farah menemuiku?” tanya Wildan
“Sebentar ya nak Wildan tunggu dulu. Biar ibu panggilkan.”
            Sudah berulang kali ibu memanggilku, tapi aku tetap tak keluar dari kamar. Hatiku masih terasa sakit. Mataku memar akibat menangis terus menerus. Panggilan keempat aku baru keluar dari kamarku karena aku kasihan kepada ibu yang memanggilku berulang kali tak ada capeknya.
“Iya, bu. Ada apa?” tanyaku sambil nyender di pintu kamar.
“Itu ada Wildan.”
“Hahh, apa? Wildan? Nggak bu aku nggak mau ketemu sama dia.”
“Lho, emangnya kenapa nak?” tanya ibuku kebingungan. Memang baru kali ini aku sudah berjanji dengan Stefanny.
“Nggak apa-apa bu. Sudahlah pokoknya aku lagi nggak pengen ketemu sama orang lain.”
“Kasihan nak Wildan sudah menunggumu dari tadi. Ayo segera cuci muka dan temui nak Wildan.” perintah ibuku. Kalau tidak perintah ibuku aku tidak akan menemuinya.
            Kami memang duduk cukup berdekatan. Namun aku tidak bertanya pada Wildan sekalipun. Aku juga jarang menatap wajahnya. Di banyak pertanyaan Wildan, aku hanya menjawab singkat. Aku sungguh malas untuk menjawab pertanyaannya yang tak masuk akal itu. Aku masih kepikiran dengan ucapan Stefanny tadi. Aku harus kuat.. harus. Mungkin aku suka dengan Wildan. Kalau tidak menyukainya kenapa hatiku seperti ini. Saat di dekatnya pun aku deg-degan.
           
Seminggu setelah kejadaian itu, Stefanny curhat denganku.
“Eh Farah, kita bisa ketemuan nggak nanti malam? Entar biar aku kirim alamatnya.” tanya Stefanny saat pulang sekolah.
“Oh iya, bisa banget Fan. Oke sampai ketemu nanti ya.”
            Malam pun tiba. Aku sudah sampai di tempat ketemuan dengan Stefanny. Ternyata Stefanny sudah sampai duluan di sana. Ia duduk berhadapan dengan seorang cowok. Aku berpikir bahwa itu adalah pacarnya. Aku segera melangkah menghampirinya.
“Hey Stefanny.”
“Eh, Farah. Silahkan duduk. Mau pesan apa?”
“Terserah deh ya. Yang penting enak. Hahaha..” jawabku dengan senang hati. Karena tumban-tumbennya Stefanny mengajakku ke tempat seperti ini.
            Sesaat aku memandangi cowok itu, sepertinya aku mengenalnya dan pernah bertemu sebelumnya. Deg... tak tahu apa yang sedang aku rasakan ini.
“Fan, cowok itu siapa? Cowok kamu ya?” tanyaku penasaran.
“Oh, ini. Dia Wildan rah.”
“Wildan.. Wildan sahabatku itu?’
“Iya. Wildan coba taruh buku itu.” Suruh Stefanny.
“Lho, Wildan kamu ngapain ke sini?”
“Emh.. emhh aku.. aku”
“Wildan ke sini aku yang ngajak rah. Kita udah deket kok ya.” tingkah laku Stefanny kepada Wildan sungguh mesra. Aku tak kuat dengan semua ini. Kenapa mereka melakukan ini di depanku? Terus untuk apa Stefanny mengajakku ke sini? Apa hanya untuk memberi tahu kalau mereka udah jadian?
            Sepulang dari tempat tersebut, aku menangis. Terus dan terus menangis di dalam kamar. Sampai-sampai handhpone ku bergetar pun aku tak memperdulikannya. Hatiku sakit. Tetapi di dalam rasa sakit ini aku ingin bertemu dengan Wildan.
Burung yang berkicau di bawah jendela kamarku membuatku terbangun. Aku melihat jam ternyata kini sudah pukul 06.30.Di depan pintu terdengar suara ibuku yang mengetuk pintu.
“Farah, ayo bangun. Kamu sekolah nggak?” suara ibuku yang terdengar di depan pintu.
“Iya.” Aku hanya menjawab singkat. Karena aku masih kepikiran dengan kejadian kemarin.
            Setelah aku siap-siap untuk berangkat sekolah, aku berpamitan dengan orang tuaku. Dan baru melangkah keluar rumah, Stefanny sudah siap dihadapanku. Tidak seperti biasanya dia menjamoutku samoai ke rumah. Pasti ada maunya.
“Eh Stefanny. Kamu ngapain kesini? Bukannya kamu biasanya langsung ke sekolah ya.?” Tanyaku ingin tahu.
“Emangnya kenapa kalau aku menjemput kamu sampai ke rumah? Nggak boleh ya?” jawab Stefanny sambil senyum bahagia.
“Sepertinya kamu hari ini bahagia. Ada apa? Kasih tahu dong.”
“Hey Farah, kamu tahu nggak aku kemarin habis jalan sama Wildan. Aku seneng banget tau. Ih ternyata gini ya rasanya jatuh cinta. Awww..” teriak Stefanny kegirangan.
“Oww.. kamu udah jadian ya?” tanya ku sedih. Dalam hatiku tersakiti. Aku yang berusaha dekat sama Wildan  mengembalikan keakraban kita dulu, kenapa dia yang mendapatkannya? Tapi mengapa, rasanya aku tak rela mendengarkan ini semua. Jujur aku masih meginginkan Wildan. Wildan adalah seorang yang sangat baik, dia ramah juga sopan kepada semua orang Dia juga pernah bilang kepadaku dia akan selalu ada untukku kapan pun. Tapi kenapa sekarang ia malah jadian sama Stefanny sahabatku.
            Hari ini aku sengaja tidak akan bicara kepada Stefanny. Tapi Stefanny malah mengajakku ke suatu tempat sepulang sekolah hari ini. Bel pulang sekolah pun berbunyi, aku berencana akan kabur dari Stefanny. Tiba-tiba Stefanny menarik tanganku dari belakang. Aku terkejut. Mau tak mau aku harus ikut dengannnya.
“Steffany kita mau kemana sih. Jangan tarik tarik tanganku dong aku bisa jalan sendiri.” Teriakku kepada Stefanny.
“Udah diam aja kamu Farah. Ikut aku. Nih tutup matamu dulu ya.”
 “Eh apa apaan sih? Nggak mau aku. Aku kan susah jalan kalau begini.”
“Udah jangan bawel kamu.” Jawab Stefanny sambil menggandengku.
            Ketika penutup mata yang menutupi mataku ini di buka. Aku melihat sekekeliling. Ada banyak hiasan di sini. Entah ini dimana dan ada acara apa. Aku bingung. Tiba-tiba teman-temanku datang sambil membawa kue ulang tahun. Ya tepat di hari ini aku berulang tahun. Sungguh tak kusangka akan mendapat surprise seperti ini. Aku menangis bahagia. Seseorang yang tak ku sangka datang di acara ini. Dia keluar dari balik badanku dan mengucapkan selamat ualang tahun kepadaku. Dia membawa sebungkus kado yang diberikan kepadaku.
“Happy Birthday Farah. Semoga panjang umur ya, apa yang di impikan semoga tercapai. Sukses selalu. Wish you all the best deh buat kamu.” ucap Wildan sambil tersenyum lebar kepadaku.
“Iya makasih ya dan. Amin ya.” Aku tak banyak berkata. Aku hanya mengucapkan itu kepada Wildan. Karena aku sangat bahagia hari ini. Namun, Wildan seketika menatapku sangat dalam.
“Farah, maafkan kau karena aku tidak bisa menjagamu dengan baik.” Ucap Wildan.
“Apa maksudmu?” aku kebingungan. Apakah ia akan berkata yang sejujurnya di hari ulang tahunku ini?
“Kita sahabatan aja ya. Aku tidak memiliki rasa yang lebih dari sekedar sahabat. Memang aku perhatian sama kamu, karena aku takut kehilangan. Tapi bukan kehilangan kekasih melainkan sahabat yang selalu menemaniku sejak kecil hingga kini. Jadi maafkan aku telah menyakiti hatimu. Aku memang bersalah.” jelas Wildan panjang lebar.
            Aku hanya bisa meneteskan air mata di hari spesial ini. teman-teman ku hanya diam memandangi kami berdua.
“Kenapa kamu nggak pernah bilang dari dulu kalau kamu nggak pernah ada rasa yang lebih dari sahabat. Kenapa Wildan? jawab aku.” Teriakku.
“Farah Farah, sudah jangan seperti ini. Sudahlah sahabat juga akan lebih baik kok. Sahabatan akan tetap kekal abadi dari pada pacaran. Aku selama ini memang mengagumi Wildan tapi Wildan juga tidak punya rasa apa apa ke aku. Bahakan aku kira dia mencintaimu. Udah jangan dipikirin.” Kata-kata Stefanny membuatku lebih tenang.
“Aku takut kamu menghilang dari kehidupanku jika aku mengatakan ini sebelumnya. Aku mencari waktu yang tepat untuk mengungkapkan ini semua. Benar apa yang dikatakan Stefanny. Sahabatan itu lebih asyik kok, jangan khawatir aku tidak akan mengingkari janjiku yang dulu. Aku akan ada disamping kamu sampai kapanpun.”
“Kalau emang itu mau kamu, aku bisa terima kok. Kita akan menjadi sahabat selamanya.” jawabku sambil tersenyum bahagia. Aku sadar bahwa sahabatan memang akan lebih asyik daripada pacaran. Hari ini akan menjadi hari yang sangat sepesial bagiku. Aku, Wildan, dan Stefanny akan menjadi sahabat yang tak pernah mengkhianati sahabatnya sendiri. Itulah janji kami kepada diri kami sendiri.

***TAMAT***

Sahabatan Lebih Asyik “Farah” teriak ibuku tak ada hentinya. Aku hanya menggumamka...