Sahabatan
Lebih Asyik
“Farah”
teriak ibuku tak ada hentinya. Aku hanya menggumamkan kata “Iya.” Ibuku terus
memanggilku. Ia menyuruhku untuk sholat subuh. Hari ini hari Minggu. Hari yang
aku tunggu-tunggu. Aku sudah melaksanakan sholat subuh.
“Farah, sekarang kamu
menyapu halaman rumah ya. Ibu mau memasak.” Suruh ibu kepadaku.
“Iya bu.” Jawabku
segera.
Namun
aku malah kembali ke kamar. Seperti biasanya, aku selalu mengecek handphone apabila
ada informasi penting dari teman. Namun kali ini berbeda.
“Wah, nggak seperti
biasanya handphone aku rame gini.”
Ku buka whatsapp, aku
terkejut tidak seperti biasanya Wildan nge whatsapp.
“Penting kali ya,
sampai-sampai Wildan nge whatsapp aku.”
Aku langsung
membalasnya. Tumben ia langsung merespon dengan cepat. Aku bingung.
“Ada apa dengan anak
ini ya? Tidak seperti biasanya.”
Tak
kusadari aku cengar cengir setiap membaca whatsapp darinya. Ia merangkai
kata-katanya dengan sempurna. Bahkan sampai menyentuh hatiku. Aku sempat
berpikir apakah anak ini akan mendekatiku? Ahh, itu tidak mungkin.
“Farah, kapan pekerjaan
rumah akan selesai jika kamu main hp terus seperti itu?” tiba-tiba suara ibu
membuatku gugup.
“Iya bu. Akan ku
kerjakan sekarang.” Jawabku masih gugup.
Dengan
segera aku mengambil sapu, dan mulai menyapu halaman rumah. Aku masih kepikiran
dengan kata-kata Wildan tadi. Sesaat aku tersenyum. Namun aku kembali sadar.
“Nggak, Wildan kan
temanku sejak kecil. Mana mungkin ia suka kepadaku? Mustahil.”
Aku
cepat-cepat menyelesaikan pekerjaan rumah hari ini. Tak terasa jam sudah
menunjukkan pukul sembilan. Baru aku melangkah keluar kamar. Handphone ku
berbunyi. One messege from Wildan. Aku
membuka pesan tersebut, dan ternyata isinya Wildan hari ini mengajakku untuk
ketemuan. Ia ingin bicara kepadaku. Memang aku sudah lama tidak bertemu dengan
Wildan semenjak aku dan keluargaku pindah ke Pati. Saat itu kita baru kelas 1
Sd atau tepatnya usia 7 tahun. Dulu kita selalu bersama. Rumah kita pun
berdekatan. Aku sudah menganggap Wildan sebagai saudaraku begitupun Wildan.
Selesai
mandi, aku mempersiapkan segalanya untuk bertemu dengan Wildan sahabat kecilku.
Aku ingin terlihat istimewa saat di depannya.
“Bu, hari ini aku
diajak Wildan ketemuan di sebuah kafe.” pamitku dengan lembut
“Wildan? Siapa itu ra?”
tanya ibu khawatir.
“Jangan khawatir bu.
Wildan itu sahabat kecilku dulu yang ada di semarang. Sekarang ia dan
keluarganya sudah pindah ke Pati karena ada beberapa urusan penting.” jelasku
panjang lebar kepada ibu.
“O, nak Wildan. Ya
sudah hati-hati di jalan ya.” Kata ibu sambil mengelus kepalaku
“Iya bu. Assalamualaikum”
salamku. Lalu ibu membalas salamku dan tersenyum.
Sesampai di kafe aku mencari sosok Wildan. Tiba-tiba dari
belakang ada yang menpuk pundakku. Aku kaget. Aku seperti mengenal wajahnya.
Aku berpikir. Ia adalah Wildan sahabat kecilku dulu.
“Wildan, Wildan kan?”
tanyaku
“Menurut kamu?” ia
malah balik bertanya.
“Ah udah lah jangan sok
cakep gitu.” candaku sambil membalas menepuk pundaknya.
“Eh, kita duduk yuk” sahutku mencoba
mengalihkan pembicaraan.
Disaat kami asyik
berbincang-bincang, tidak terasa sudah pukul 1 siang.
“Eh, Wildan udah jam
satu nih. Aku mau pulang, nanti dicariin ibuku.” kataku gugup.
“Oh, ya udah bareng aku
aja, kan searah.”
“Iya deh. Nggak ngerepotin nih?” tanyaku.
“Enggak kok, lagian aku
juga udah bilang ke mama aku, kalau aku mau ketemu kamu.” kata Wildan sambil
tersenyum.
Seketika
aku ditatap oleh Wildan. Aku menjadi salah tingkah. Memang kebiasaanku jika dilihat
orang apalagi itu cowok. Tapi, aku tetap melangkah untuk pulang. Sedangkan
Wildan masih membuntutiku.
Sesampai dirumah aku mengetuk pintu dan salam.
“Tok..tok..tok..tok,
assalamualaikum.”
“Wa’alaikumsalam.” jawab
salam dari ibuku.
Ibu
kaget aku pulang dengan seorang teman cowokku. Tidak kebiasaanku untuk membawa
teman cowok ke rumah. Ibuku berpikir. Lama rasanya.
“Farah, ini siapa? Kayak pernah ketemu deh.” tanya
ibuku penasaran.
“Ini sahabatku waktu
kecil bu. Yang aku ceritakan tadi pagi.” jawabku.
“Bu, saya Wildan yang
dulu sering main ke rumah Farah.” jelas Wildan.
“Ee, nak Wildan.
Silahkan masuk nak, mari” ajak ibuku
Lalu kami mengobrol tentang masa kecil kami yang dulu
suka membuat orang tua kami cemas. Tak terasa sekarang Wildan pamit pulang. Aku
masuk kamar dan memori kepalaku seakan berputar mengingat kejadian tadi. Aku
senyum senyum sendiri layaknya orang gila. Sesekali aku melihat handphone ku, apabila
Wildan mengirimku pesan. Baru sebentar aku memejamkan mata, handphoneku
bergetar. Dengan segera aku mengambilnya. One messegge from Stefanny.
“Wah, pasti dari Wildan
nih. Buka ah.” kata ku sembari tersenyum bangga. Aku memang tidak melihat pesan
itu dari siapa tetapi dengan semangat akau langsung membuka pesan itu.
“Lho kok dari Stefany
sih. Nanya tugas lagi. Kan kemarin dia masuk sekolah kenapa masih tanya sih. Ah
kecewa. Kenapa coba aku tidak membaca pesan ini dari siapa dulu. Pasti kan
tidak kecewa seperti ini.” wajahku menekuk. Lalu kubalas pesan dari Stefanny
itu.
Pagi
harinya aku bangun kesiangan. Sarapan pagi pun tergesa-gesa.
“Assalamualaikum bu, yah aku berangkat dulu.”
lalu aku mencium tangan mereka.
“Ya, hati-hati Farah.”
Sahut ibu dan ayahku bersamaan.
Untunglah
aku hari ini tidak telat. Aku segera masuk kelas dan menaruh tas di bangkuku.
Biasa, aku duduk bersebelahan dengan Stefanny. Dia adalah sahabatku yang paling
rese, tapi kalau aku tidak bertemu satu menit pun aku merasa kangen. Bel
istirahat pun berbunyi, Stefanny segera mengajakku ke taman sekolah.
“Eh eh eh, Stefanny
kamu mau ngapain? Jangan pegang tanganku. Aku bisa jalan sendiri. Sakit tau.”
jeritku kesakitan karena tangan Stefanny memegang erat tanganku.
“Udah, kamu ikut aja
sama aku.” sahut Stefanny.
“Hei, Farah jawab jujur
ya.”
“Emangnya mau ngapain
sih? Mau tanya apa kamu? Kayaknya penting banget.”
“Apa bener kemarin kamu
habis ketemuan sama si Wildan itu?” tanya Stefanny sadis.
“Iya, kenapa? Eh, kamu
tau nggak sekarang dia nggak gendut lagi lho. Dia sekarang lebih keren.” jawabku
gembira. Tak ku sadari ternyata aku ngelamun sambil cengar-cengir tak karuan.
“Woy, jangan ngelamun
mulu. Sambil cengar-cengir lagi.” getak Stefanny sambil memutar bola matanya
karena bosan.
Memang aku tidak satu sekolah dengan Wildan. Tapi aku
merasa dekat dengannya. Dekat sekali melebihi sahabat. Ia sudah seperti
saudaraku sendiri.
“Tumben Stefanny tadi
galak. Nggak biasanya dia seperti itu.” batinku. Aku memikirkan tingkah laku
Stefanny tadi. Aku merasa bersalah. Apa dia menyukai Wildan? atau yang lain? Entahlah, aku tak tahu. Saat jam pelajaran pun
dia tak bicara denganku. Dia diam kadang malah melamun. Aku bingung. Kita tidak
bicara satu kata pun.
Sepulang
sekolah aku masih juga memikirkan kejadian tadi. Apa mungkin ia suka dengan
Wildan. Kalu memang suka kenapa ia tidak mendekatinya saja. Mengapa malahan
marah denganku? Mungkin ia menganggap aku dan Wildan telah jadian. Tapi semua
itu salah. Aku suka dengan Wildan hanya sebatas sahabat. Nggak lebih. Batinku
dalam hati.
One
messege from Wildan
“Selamat Sore Farah yang cantik”
“Hah, dia memanggilku
cantik? Nggak biasanya dia seperti ini.” ucapku kebingungan. Aku bingung
membalas pesan darinya. Aku sebenarnya ingin sekali membalas pesannya. Tapi,
aku ingat dengan kata sahabatku Stefanny. Ia sempat bilang saat pulang sekolah
tadi, bahwa aku tidak boleh membalas pesan dari Wildan satu katapun. Akhirnya,
aku membiarkan.
Keesokan harinya saat di sekolah, Stefanny bertanya
padaku.
“Farah, kamu kemarin
dapat pesan dari Wildan nggak?” tanya Setfanny penasaran.
“Iya.” Jawabku singkat.
“Terus kamu balas?”
“Enggak lah, aku kan
udah janji sama kamu bakal nggak balas pesan dari Wildan.” Lalu, aku
menundukkan kepala sebentar. Sedih rasanya sehari tidak membalas pesan dari
Wildan.
“Baguslah. Eh, Farah
kamu kan deket banget tuh sama Wildan. Kamu mau nggak bantuin aku agar deket
sama dia” sahut Stefanny.
Deg,
sakit rasanya mendengar perkataan itu. Tapi mengapa hati ku rasanya sakit.
Bukankah aku selama ini hanya menganggap Wildan sebagai sahabatku? Atau.... ah,
nggak mungkin.
“Hey Farah kenapa malah
ngelamun sih?
“Eh, iya iya aku bakal
bantuin kamu.” upss. Kenapa aku menjawabnya seperti ini? aku tak rela.
“Janji?”
“I.. i.. iya janji.
Kamu kan sahabatku.” jawabku gugup.
Kenapa tadi aku menjawab bakal ngebantuin Stefanny ya.
Padahal hatiku terasa sakit. Satu jam kemudian setelah aku pulang sekolah,
tiba-tiba ada yang mengetuk pintu. Aku tak menggubrisnya. Aku berada di kamar
sejak tadi pulang sekolah.
Dengan
segera ibuku membukakan pintu itu.
“Eh, nak Wildan. Mau ketemu Farah ya?” tanya
ibuku.
“Iya bu, apakah
Farahnya ada?” sambil mencium tangan ibu.
“Mari masuk dulu nak.
Nanti ibu panggilkan Farah. Farah dari tadi belum keluar dari kamarnya.
Kayaknya ia lagi badmood.” kata ibuku panjang lebar kepada Wildan.
“Oh iya bu. Bisakah
Farah menemuiku?” tanya Wildan
“Sebentar ya nak Wildan
tunggu dulu. Biar ibu panggilkan.”
Sudah berulang kali ibu memanggilku, tapi aku tetap tak
keluar dari kamar. Hatiku masih terasa sakit. Mataku memar akibat menangis
terus menerus. Panggilan keempat aku baru keluar dari kamarku karena aku
kasihan kepada ibu yang memanggilku berulang kali tak ada capeknya.
“Iya, bu. Ada apa?”
tanyaku sambil nyender di pintu kamar.
“Itu ada Wildan.”
“Hahh, apa? Wildan?
Nggak bu aku nggak mau ketemu sama dia.”
“Lho, emangnya kenapa
nak?” tanya ibuku kebingungan. Memang baru kali ini aku sudah berjanji dengan
Stefanny.
“Nggak apa-apa bu.
Sudahlah pokoknya aku lagi nggak pengen ketemu sama orang lain.”
“Kasihan nak Wildan
sudah menunggumu dari tadi. Ayo segera cuci muka dan temui nak Wildan.” perintah
ibuku. Kalau tidak perintah ibuku aku tidak akan menemuinya.
Kami memang duduk cukup berdekatan. Namun aku tidak
bertanya pada Wildan sekalipun. Aku juga jarang menatap wajahnya. Di banyak
pertanyaan Wildan, aku hanya menjawab singkat. Aku sungguh malas untuk menjawab
pertanyaannya yang tak masuk akal itu. Aku masih kepikiran dengan ucapan
Stefanny tadi. Aku harus kuat.. harus. Mungkin aku suka dengan Wildan. Kalau
tidak menyukainya kenapa hatiku seperti ini. Saat di dekatnya pun aku
deg-degan.
Seminggu
setelah kejadaian itu, Stefanny curhat denganku.
“Eh Farah, kita bisa
ketemuan nggak nanti malam? Entar biar aku kirim alamatnya.” tanya Stefanny
saat pulang sekolah.
“Oh iya, bisa banget
Fan. Oke sampai ketemu nanti ya.”
Malam pun tiba. Aku sudah sampai di tempat ketemuan
dengan Stefanny. Ternyata Stefanny sudah sampai duluan di sana. Ia duduk
berhadapan dengan seorang cowok. Aku berpikir bahwa itu adalah pacarnya. Aku
segera melangkah menghampirinya.
“Hey Stefanny.”
“Eh, Farah. Silahkan
duduk. Mau pesan apa?”
“Terserah deh ya. Yang
penting enak. Hahaha..” jawabku dengan senang hati. Karena tumban-tumbennya
Stefanny mengajakku ke tempat seperti ini.
Sesaat aku memandangi cowok itu, sepertinya aku mengenalnya
dan pernah bertemu sebelumnya. Deg... tak tahu apa yang sedang aku rasakan ini.
“Fan, cowok itu siapa?
Cowok kamu ya?” tanyaku penasaran.
“Oh, ini. Dia Wildan
rah.”
“Wildan.. Wildan
sahabatku itu?’
“Iya. Wildan coba taruh
buku itu.” Suruh Stefanny.
“Lho, Wildan kamu
ngapain ke sini?”
“Emh.. emhh aku.. aku”
“Wildan ke sini aku
yang ngajak rah. Kita udah deket kok ya.” tingkah laku Stefanny kepada Wildan sungguh
mesra. Aku tak kuat dengan semua ini. Kenapa mereka melakukan ini di depanku?
Terus untuk apa Stefanny mengajakku ke sini? Apa hanya untuk memberi tahu kalau
mereka udah jadian?
Sepulang dari tempat tersebut, aku menangis. Terus dan
terus menangis di dalam kamar. Sampai-sampai handhpone ku bergetar pun aku tak memperdulikannya.
Hatiku sakit. Tetapi di dalam rasa sakit ini aku ingin bertemu dengan Wildan.
Burung
yang berkicau di bawah jendela kamarku membuatku terbangun. Aku melihat jam ternyata
kini sudah pukul 06.30.Di depan pintu terdengar suara ibuku yang mengetuk
pintu.
“Farah, ayo bangun.
Kamu sekolah nggak?” suara ibuku yang terdengar di depan pintu.
“Iya.” Aku hanya
menjawab singkat. Karena aku masih kepikiran dengan kejadian kemarin.
Setelah aku siap-siap untuk berangkat sekolah, aku
berpamitan dengan orang tuaku. Dan baru melangkah keluar rumah, Stefanny sudah
siap dihadapanku. Tidak seperti biasanya dia menjamoutku samoai ke rumah. Pasti
ada maunya.
“Eh Stefanny. Kamu
ngapain kesini? Bukannya kamu biasanya langsung ke sekolah ya.?” Tanyaku ingin
tahu.
“Emangnya kenapa kalau
aku menjemput kamu sampai ke rumah? Nggak boleh ya?” jawab Stefanny sambil
senyum bahagia.
“Sepertinya kamu hari
ini bahagia. Ada apa? Kasih tahu dong.”
“Hey Farah, kamu tahu
nggak aku kemarin habis jalan sama Wildan. Aku seneng banget tau. Ih ternyata gini
ya rasanya jatuh cinta. Awww..” teriak Stefanny kegirangan.
“Oww.. kamu udah jadian
ya?” tanya ku sedih. Dalam hatiku tersakiti. Aku yang berusaha dekat sama
Wildan mengembalikan keakraban kita
dulu, kenapa dia yang mendapatkannya? Tapi mengapa, rasanya aku tak rela
mendengarkan ini semua. Jujur aku masih meginginkan Wildan. Wildan adalah
seorang yang sangat baik, dia ramah juga sopan kepada semua orang Dia juga
pernah bilang kepadaku dia akan selalu ada untukku kapan pun. Tapi kenapa
sekarang ia malah jadian sama Stefanny sahabatku.
Hari ini aku sengaja tidak akan bicara kepada Stefanny.
Tapi Stefanny malah mengajakku ke suatu tempat sepulang sekolah hari ini. Bel
pulang sekolah pun berbunyi, aku berencana akan kabur dari Stefanny. Tiba-tiba
Stefanny menarik tanganku dari belakang. Aku terkejut. Mau tak mau aku harus
ikut dengannnya.
“Steffany kita mau
kemana sih. Jangan tarik tarik tanganku dong aku bisa jalan sendiri.” Teriakku
kepada Stefanny.
“Udah diam aja kamu
Farah. Ikut aku. Nih tutup matamu dulu ya.”
“Eh apa apaan sih? Nggak mau aku. Aku kan
susah jalan kalau begini.”
“Udah jangan bawel
kamu.” Jawab Stefanny sambil menggandengku.
Ketika penutup mata yang menutupi mataku ini di buka. Aku
melihat sekekeliling. Ada banyak hiasan di sini. Entah ini dimana dan ada acara
apa. Aku bingung. Tiba-tiba teman-temanku datang sambil membawa kue ulang
tahun. Ya tepat di hari ini aku berulang tahun. Sungguh tak kusangka akan
mendapat surprise seperti ini. Aku menangis bahagia. Seseorang yang tak ku sangka
datang di acara ini. Dia keluar dari balik badanku dan mengucapkan selamat
ualang tahun kepadaku. Dia membawa sebungkus kado yang diberikan kepadaku.
“Happy Birthday Farah.
Semoga panjang umur ya, apa yang di impikan semoga tercapai. Sukses selalu. Wish
you all the best deh buat kamu.” ucap Wildan sambil tersenyum lebar kepadaku.
“Iya makasih ya dan.
Amin ya.” Aku tak banyak berkata. Aku hanya mengucapkan itu kepada Wildan.
Karena aku sangat bahagia hari ini. Namun, Wildan seketika menatapku sangat
dalam.
“Farah, maafkan kau
karena aku tidak bisa menjagamu dengan baik.” Ucap Wildan.
“Apa maksudmu?” aku
kebingungan. Apakah ia akan berkata yang sejujurnya di hari ulang tahunku ini?
“Kita sahabatan aja ya.
Aku tidak memiliki rasa yang lebih dari sekedar sahabat. Memang aku perhatian
sama kamu, karena aku takut kehilangan. Tapi bukan kehilangan kekasih melainkan
sahabat yang selalu menemaniku sejak kecil hingga kini. Jadi maafkan aku telah
menyakiti hatimu. Aku memang bersalah.” jelas Wildan panjang lebar.
Aku hanya bisa meneteskan air mata di hari spesial ini.
teman-teman ku hanya diam memandangi kami berdua.
“Kenapa kamu nggak pernah
bilang dari dulu kalau kamu nggak pernah ada rasa yang lebih dari sahabat. Kenapa
Wildan? jawab aku.” Teriakku.
“Farah Farah, sudah
jangan seperti ini. Sudahlah sahabat juga akan lebih baik kok. Sahabatan akan tetap
kekal abadi dari pada pacaran. Aku selama ini memang mengagumi Wildan tapi
Wildan juga tidak punya rasa apa apa ke aku. Bahakan aku kira dia mencintaimu.
Udah jangan dipikirin.” Kata-kata Stefanny membuatku lebih tenang.
“Aku
takut kamu menghilang dari kehidupanku jika aku mengatakan ini sebelumnya. Aku
mencari waktu yang tepat untuk mengungkapkan ini semua. Benar apa yang
dikatakan Stefanny. Sahabatan itu lebih asyik kok, jangan khawatir aku tidak
akan mengingkari janjiku yang dulu. Aku akan ada disamping kamu sampai
kapanpun.”
“Kalau emang itu mau
kamu, aku bisa terima kok. Kita akan menjadi sahabat selamanya.” jawabku sambil
tersenyum bahagia. Aku sadar bahwa sahabatan memang akan lebih asyik daripada
pacaran. Hari ini akan menjadi hari yang sangat sepesial bagiku. Aku, Wildan,
dan Stefanny akan menjadi sahabat yang tak pernah mengkhianati sahabatnya
sendiri. Itulah janji kami kepada diri kami sendiri.
***TAMAT***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar